Praktik “blending” bahan bakar minyak (BBM) merupakan suatu metode yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Dalam praktik ini, campuran bahan bakar yang lebih murah seperti minyak kelapa sawit atau biodiesel dicampurkan dengan BBM jenis premium atau pertalite. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM serta mengurangi anggaran subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan blending BBM dengan persentase sebesar 20%. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi sekaligus mendukung pengembangan industri biodiesel di Indonesia. Selain itu, blending juga diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Namun, praktik blending BBM tidak selalu berjalan lancar. Beberapa kendala seperti kualitas bahan bakar yang rendah dan kurangnya infrastruktur pemurnian biodiesel menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan ini. Selain itu, harga biodiesel yang fluktuatif juga menjadi masalah yang perlu diatasi oleh pemerintah.
Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia berencana untuk meningkatkan persentase blending BBM hingga 30%. Hal ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi industri biodiesel di Indonesia serta mengurangi konsumsi BBM bersubsidi yang semakin meningkat. Namun, untuk mencapai target tersebut, diperlukan kerja sama antara pemerintah, produsen biodiesel, dan masyarakat dalam mendukung implementasi kebijakan ini.
Dengan adanya praktik blending BBM, diharapkan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM serta mengurangi anggaran subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, praktik ini juga diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan mendukung pengembangan industri biodiesel di Indonesia. Dengan kerja sama yang baik antara semua pihak terkait, implementasi kebijakan blending BBM bisa menjadi sukses dan memberikan manfaat yang besar bagi bangsa dan negara.